Berbicara tentang Lunang sama halnya mengingat kisah perjalanan Bundo Kanduang seorang penguasa “ratu” di kerajaan Pagaruyung dalam pelariannya ke Lunang dari kejaran penguasa kerajaan Sungai Ngiang yakni Tiang Bungkuk.
Kisah yang diceritakan dalam kaba Cindua Mato ini merupakan salah satu historiografi tradisional Minangkabau dan mashur di ranah minang hingga wilayah nusantara lainnya seperti Bengkulu, Jambi dan negeri jiran Malaysia.
Dikisahkan saat terjadi huru-hara di Pagaruyung, Bundo Kanduang dan anaknya Dang Tuangku beserta menantunya bernama Puti Bungsu “menghilang” dari istana lewat proses “mengirap ke langit”. Dan turun di wilayah Lunang Pesisir Selatan. Proses mengirapnya Bundo Kanduang itu merupakan cara yang ditempuhnya untuk menghindari bahaya akibat adanya serangan luar terhadap istana.
Dalam pengetahuan sejarah masyarakat di Lunang dan malahan Sumatera Barat pada umumnya, bahwa Bundo Kanduang beserta pengikutnya lari dan bersembunyi di Lunang. Di Lunang pulalah ia kemudian mendirikan kembali istana yang dikenal dengan Rumah Gadang Mande Rubiah dan nama Bundo Kanduang pun diganti dengan gelar Mande Rubiah, status gelar mande rubiah sekarang dijabat oleh seorang perempuan bernama Rakinah (51 th), adalah pewaris ketujuh.
Sebagai tempat persembunyian dan bersemayamnya tokoh penting dalam kaba Cindua Mato, Lunang menyimpan cerita yang masih banyak belum diketahui orang. Rumah Gadang yang telah berdiri ratusan tahun silam tersebut dipercaya sebagai istana yang dibangun oleh Bundo Kanduang atau Mande Rubiah pertama, maka disebutlah menjadi Rumah Gadang Mande Rubiah. Rumah gadang Mande Rubiah terletak di Kampung Dalam, sebagai pusat “alam” Lunang, merupakan refleksi alam berfikir dan kosmologi Lunang.
Kawasan Kampung Dalam, Lunang memiliki makna simbolis, menempatkan Mande Rubiah sebagai tokoh sentral dan Kampung Dalam sebagai tempat yang “sakral” yang menjaga keaslian tradisi yang telah berlangsung secara turun temurun di Lunang. Eksistensi Mande Rubiah di dalam masyarakat Lunang jelas tidak dapat diabaikan karena dianggap sebagi tokoh penting dalam menjaga keseimbangan “simbolis” kehidupan masyarakat Lunang.
Terlepas dari benar atau tidaknya dari berita kaba tersebut dalam penelitian sejarah oleh tim PSH Unand dan Museum Negeri Adityawarman (Herwandi, dkk, 2003: 5) menyatakan bahwa keberadaan Mande Rubiah di Lunang telah mengisi dinamika kehidupan masyarakat Lunang. Ia tampil bukan dalam ruang yang hampa, tetapi berada dalam kontek masyarakat yang berdinamika.
Alam dan Mitologi Sejarah Nama Lunang
Masyarakat Lunang mempercayai bahwa Lunang merupakan salah satu daerah paling tua di permuakaan bumi. Nama Lunang berasal dari kata menang. Bagaimana demikian?. Ta’kala banjir besar nabi Nuh a.s yang menenggelamkan hampir seluruh isi bumi ini, di pulau Sumatera terdapat tiga tempat pada masa itu muncul ke permukaan, yaitu pertama puncak gunung Marapi di Tanah Datar, kedua bukit Siguntang-guntang di Palembang dan ketiga Tanah Lunang di Pesisir Selatan. Tempat terakhir inilah yang kemudian dianggap sebagai tempat pilihan tuhan, disebut “tanah menang” karena daerah ini merupakan dataran rendah namun muncul ke permukaan.
Penamaannya diberikan pada masa kedatangan nenek moyang orang Minangkabau yakni Putra raja Iskandar Zulkarnain yang bernama Sri Maharajo Dirajo. Disaat itu gunung merapi masih sebesar telur Itik. Dalam pelayarannya, Sri Maharajo Dirajo putra raja Iskandar Zulkarnain menemukan daratan yang kemudian mereka beri nama tanah menang “itu tanah kemenangan kita” kata mereka. Tanah menang ini lama kelamaan berubah menjadi Lunang.
Dari pemikiran di atas, Lunang dianggap salah satu negri paling tua di Minangkabau. Seperti telah ditulis dalam buku Yulizal Yunus (2002) berjudul Kesultanan Inderapura dan Mandeh Rubiah di Lunang: Spirit Sejarah dari Kerajaan Bahari Hingga Semangat Melayu Dunia, bahwa Lunang serta wilayah kulturnya Inderapura adalah salah satu negeri tertua di Minangkabau.
Ini menandakan bahwa, masyarakat Lunang memberikan nama pada negri-nya ketika Islam telah berkembang di daerah ini. Seperti wilayah lainnya di Minangkabau yang banyak mengaitkan asal-usul nama daerahnya berawal dari banjir besar nabi Nuh a.s. Artinya, pada ratusan tahun silam, saat islam telah menerangi iman manusia sumatera terutama di Minangkabau, historiografi tradisional mulai berkembang termasuk dalam pengetahuannya tentang asal-usul suatu daerah.
Nama besar raja Iskandar Zulkarnain pun tak luput menjadi awal sebuah kisah, sehingga anggapan bahwa mereka merupakan keturunan dari seorang raja termasyur ini hadir sebagai pembuka. Seperti dalam Tambo Alam Minangkabau, bahwa ta’kala gunung Marapi masih sebesar telur Itik berlabuhlah Sri Maharajo Dirajo anak raja Iskandar Zulkarnain dari pelayarannya yang jauh yakni dari benua Rum. Kemudian rombongan tersebut turun ke lereng gunung merapi dan membuat sebuah pemukiman baru yang disebut Nagari Pariangan, dikenal juga nagari tertua di Minangkabau dan dipercaya sebagai tempat asal-usul nenek moyang orang Minangkabau.
Raja Iskandar Zulkarnain ayah Sri Maharajo Dirajo yang dimaksud sangat dimungkinkan adalah raja agung yang diceritakan dalam Alquran (QS. Al-Kahfi: 83-98), seorang raja yang menguasai wilayah dari ujung timur hingga ujung barat. Selain itu raja Iskandar Zulkarnain juga dimaksudkan Alexander the Great (Alexander yang agung) raja dari Makedonia yang menaklukan hampir separuh dunia, hidup pada abad ke-3 sebelum masehi.
Selain itu, barangkali juga dipengaruhi oleh agama yang masuk sebelum Islam, yakni Hindu-Budha. Gelar maharaja sudah dikenal sebelum Islam masuk ke Indonesia. Dalam bahasa hindi “Maharaj” yang berarti raja agung adalah gelar pada penguasa Hindu. Seperti gelar yang dipakai oleh Maharaja Asoka di abad ke-1 SM. Gelar sepadan untuk perempuan adalah maharani yang biasanya dipegang oleh istri maharaja.
Memang terkadang harus dimaklumi bahwa agama Hindu, Budha dan Islam terjadi singkronisasi sehingga melahirkan penulisan sejarah tradisional, seperti Babad Tanah Jawi, Tambo, Kaba dan lain sebagainya. Selanjutnya penulisan tradisonal seperti yang dikemukakan di atas, masayarakat belum bisa memisahkan dirinya dengan alam dan kejadian-kejadian yang terjadi dari alam.
Pemikiran di atas menurut sebagian besar orang adalah mitologis dan legenda, namun sebagian orang masih menjadi ingatan dan masih dipercaya secara tegar. Seperti halnya alam pemikiran masyarakat Lunang yang berada di Kecamatan Lunang, Kabupaten Pesisir Selatan. Terletak di selatan kota Padang, berjarak kurang-lebih 230 km dari kota Padang dan lebih-kurang 150 km dari Painan, ibu kota Pesisir Selatan. 20 km lagi arah ke selatan dari Lunang, sudah merupakan perbatasan Provinsi Sumatera Barat dengan Provinsi Bengkulu.
Pandangan bahwa Lunang salah satu daerah paling tua tidak seharusnya dicap salah atau tidak benar. Mitos tidak untuk diukur dan dijelaskan dengan ukuran-ukuran kebenaran rasional manusia modern, melainkan untuk dimengerti dan dihayati maknanya. Pertanyaannya bukan tentang apakah cerita asal usul tersebut benar secara faktual atau sebaliknya tidak masuk akal, melainkan mengapa nenek moyang mereka menciptakan mitos demikian? Seperti halnya Lunang telah ada sejak banjir besar nabi Nuh a.s.
Pada tahun 2002 kabupaten Pesisir Selatan menjadi tuan rumah PORDA ke VIII di Provinsi Sumatera Barat. Ajang pertandingan bidang olah raga yang dilaksanakan sekali dalam dua tahun tersebut biasanya dibuka dengan menyulut api PORDA pada rangkaian pembukaan acaranya. Pelaksanaan PORDA sebelumnya di Sumatera Barat, api ini diambil langsung dari Paringan sebuah nagari yang dipercaya paling tua di Minangkabau yang terletak di lereng gunung Marapi di Kabupaten Tanah Datar.
Beda halnya pada pelaksanan PORDA ke VIII Provinsi Sumatera Barat yang dilaksanakan di Kabupaten Pesisir Selatan. Selain api PORDA yang diambil dari Nagari Pariangan, Tanah Datar, api PORDA juga diambil langsung dari Lunang. Yakni dari Rumah Gadang Mande Rubiah, yang disulut langsung oleh pewaris rumah gadang yakni Mande Rubiah.
Ini lebih karena Lunang dipercaya salah satu nagari paling tua di Minangkabau. Hingga menimbulkan pro dan kontra diberbagai kalangan. Hingga ada yang berpendapat bahwa batalnya Gubernur Sumatera Barat kala itu Zainal Bakar untuk membuka acara PORDA ke VIII di Painan adalah karena rumor pro dan kontra ini.
Masa pemerintahan yang dipimpin oleh Bupati Darizal Basir (sekarang Anggota DPR RI) PORDA ke VIII berjalan dengan kidmat dan lancar sampai api dibawa ke kota Painan yang menempuh perjalanan dengan maraton oleh atlit-atlit putra Pesisir Selatan sejauh 150 km, acara dibuka oleh Sekretaris Daerah Provinsi Sumatera Barat.
Momen ini disambut baik oleh masyarakat Minangkabau terutama masyarakat Pesisir Selatan. Pesisir Selatan telah mengukir sejarah baru, legitimasi Lunang dan Inderapura sebagai salah satu negri paling tua di Minangkabau hadir kembali dalam realitas kekinian. Kerajaan Inderapura yang pernah jaya dari abad ke XVII sampai ke XVIII adalah wilayah yang memiliki kultur dan sejarah paling dekat dengan Lunang.
Kebesaran nama Inderapura pun merupakan kelanjutan dari sejarah Lunang. Di Lunang ini pernah bediri sebuah kerajaan bernama Indojati, nama Indojati ini kemudian berubah menjadi Indopuro dan selanjutnya menjadi kerajaan Inderapura. Nama Indojati kemudian ingin diangkat kembali oleh masyarakat Inderapura, Tapan, Lunang dan Silaut sebagai nama calon Daerah Otonomi Baru (DOB) pemekaran dari kebupaten Pesisir Selatan yakni Kabupaten Renah Indojati.
Hubungan Lunang dan Inderapura secara langsung dihubungkan oleh sungai besar Batang Lunang yang bermuara di Muaro Sakai Inderapura. Inderapura yang terletak di tepi pantai menjadi kerajaan besar pada masa silam karena terhubung langsung dengan negeri Luar, seperti Persia, Arab, India, Cina maupun dengan Aceh.
Lunang Pada Masa Sekarang
Lunang adalah sebuah nagari adminstrasi, nama Lunang juga dijadikan nama kecamatan sejak tahun 2013 dan sekaligus dalam satu kerapatan adat yakni Kerapatan Adat Nagari Lunang. Di Lunang terdapat rumah tua berbentuk rumah adat melayu yang dikenal dengan Rumah Gadang Mande Rubiah, rumah gadang ini merupakan salah satu situr cagar budaya di bawah naungan Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Batusangkar.
Pada tanggal 8 Maret 1980, Rumah Gadang Mande rubiah ini diresmikan menjadi museum lokal di Sumatera Barat oleh Bidang Permuseuman, Sejarah dan Kepurbakalaan Kanwil Dept. P & K Sumatera Barat, dengan nama Museum Mande Rubiah, setelah sebelumnya dilakukan beberapa kali penelitian. Selanjutnya benda-benda koleksi peninggalan sejarah yang tersimpan rapi di dalam rumah gadang mande rubiah ini dipamerkan untuk khalayak umum.
Rumah Gadang Mande Rubiah menjadi ikon pariwisata sejarah di kabupaten Pesisir Selatan. Sebagai destinasi wisata sejarah di Pesisir Selatan, objek wisata rumah gadang Mande Rubiah ini dikunjungi lebih dari 13.000 pengunjung setiap tahunnya. Jumlah ini bahkan semakin meningkat dilihat dari buku tamu rumah gadang ini.
Objek wisata sejarah kebanggan Kabupaten Pesisir Selatan ini pengelolaannya didukung juga oleh pemerintah daerah setempat. Sebagaimana yang pernah penulis dengar langsung dari mantan Bupati Pesisir Selatan H. Nasrul Abit (Wakil Gubernur Sumbar sekarang) didalam kesempatan dengan semanggatnya menyatakan bahwa “jika Tanah Datar memiliki Pagaruyung, Pesisir Selatan memiliki Lunang”. Artinya wilayah darek yang memiliki daerah sentral yakni pagaruyung maka harus seimbang dengan wilayah pesisir yang juga disebut wilayah rantau yakni Lunang. Nasrul Abit memiliki harapan besar hubungan Pagaruyung dengan Lunang terjalin baik dan lebih istimewa sebagaimana sejarah pengetahuan masyarakat yang ada di Minangkabau. (*)
ZULRAHMAN
(Mahasiswa Pascasarjana FIB Unand)